meet up


Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 dan Jisung sudah sampai di lokasi yang diberitahu oleh lelaki yang baru ia kenal itu dari sebuah aplikasi kencan. Tidak bisa bohong, Jisung sangat gugup dan gelisah.

Bagaimana kalau sesuatu yang tidak ia inginkan terjadi?

Bagaimana kalau sebenarnya ini adalah sebuah modus penipuan baru dan ia merupakan korban selanjutnya?

Berbagai macam pikiran buruk bermunculan terus di kepalanya sejak tadi siang.

Lima belas menit berlalu, pintu kafe tersebut terbuka. Masuklah sosok laki-laki muda menggunakan masker hitam dan beanie yang menutupi rambut gondrongnya yang tampak menyentuh pundak bidang lelaki itu.

Lelaki itu berjalan ke arah Jisung. Pasalnya, Jisung sudah memberitahu pakaian apa yang ia kenakan agar lelaki itu dapat dengan mudah menemukannya. Dan bingo! Mereka pun akhirnya saling bertatapan. Jisung yang tetap duduk dan pria itu yang masih berdiri.

“Ji?” Panggilnya sedikit ragu.

Jisung menaikkan kedua sudut bibirnya untuk tersenyum, namun sedikit kaku. Entah kenapa, walaupun wajah pria itu tidak terlihat jelas akibat tertutupi oleh masker dan topinya, tetapi ketampanan lelaki ini tetap terpancar.

Wangi parfumnya.. Ucap Jisung dalam hati. Terpana dengan aroma parfum yang digunakan pria itu.

Saat ia sudah duduk, ia membuka masker yang ia kenakan daritadi.

Tampan… Sangat tampan.

“Ino. Panggil gue Kak Ino aja.” Suaranya juga tampan.

Jisung sedikit menegakkan punggungnya, membenarkan posisi duduknya. Menelan ludah cukup berat karena terpesona oleh wajah tampan pria yang akan ia panggil Kak Ino.

“Kak,” Panggil Jisung.

Ino segera menatap kembali Jisung. Siap mendengarkan kelanjutan kalimat dari yang lebih muda.

“Lo beneran lagi butuh seseorang? … Maksud gue, lo nggak punya pacar gitu?” Jedanya sebentar.

Setelah mendengar pertanyaannya, ia tertawa. Hanya tawa kecil.

“Buat apa gue main dating app kalo gue punya pacar?”

“Masa orang seganteng lo jomblo sih, Kak? Gue kalo jadi lo pasti udah jadian sana sini, pamerin muka ganteng gue, tebar pesona kesana kemari. Gak boleh disia-siakan.”

“Orang ganteng juga bisa jomblo kali.” Jawabnya dilanjut dengan kekehan yang sedikit menunjukkan deretan giginya.

Lucu senyumnya, kayak kelinci..

Tampaknya Jisung semakin tertarik.

“Jadi gimana? Mau temenin gue gak malam ini?” Tanya Ino.

Setelah bertemu seperti ini dan melihat Kak Ino yang memberinya respon lebih baik dibanding saat di chat, menurutnya bukan ide yang buruk kalau ia menerima ajakannya.

“Boleh, Kak. Kalo cuma nemenin, boleh.”


Sesampainya disalah satu Hotel berbintang, cukup mewah. Ino langsung membawanya ke kamar yang sudah ia book sebelumnya.

Setelah masuk ke kamar, suasana di dalam sangat canggung. Mungkin bagi Jisung begitu, tidak tahu dengan Ino yang langsung membuka masker dan topinya.

“Rambut lo panjang juga ya, Kak. Tapi cocok sih.” Jisung memang bukan tipikal orang yang akan menahan diri saat ingin memberikan pujian pada orang lain. Sedangkan Ino merupakan orang yang suka bingung kalau dapat pujian dari orang. Maka ia hanya tersenyum kecil sebagai respon.

Lanjut, ia membuka kemeja lengan panjang yang ia gunakan, menyisakan selapis kaos oblong berwarna hitam. Selamatkan Jisung karena melihat pria kekar mengenakan kaos hitam adalah salah satu kelemahan terbesarnya.

“Duduk aja di situ, Ji.” Ino menunjuk kasur yang berukuran King.

Duduklah Jisung sesuai arahan Ino. Sedangkan pria itu masih sibuk dengan mengeluarkan ponsel dari saku celananya, kemudian dompetnya juga ia letakkan di atas meja rias. Lalu melepaskan sepatu dan kaos kakinya, menyusunnya dengan rapi di dekat pintu masuk.

“Lo mau pesen makanan gak, Ji? Biar gue pesenin. Atau mau pesen room service?” Tawarnya sambil berjalan menuju kasur.

Ia duduk di sebelah Jisung yang masih terduduk diam, tidak tahu harus berbuat apa.

“Gue ngikut lo aja, Kak. Gak laper juga sih sebenarnya.”

Jujur, ia cukup bingung. Kalau seseorang meminta untuk ditemani, lalu ia harus apa? Apakah ia harus bertanya ada apa dengan orang tersebut? Apakah ia harus menawarkan diri untuk mendengarkan keluh kesah orang tersebut? Atau haruskah ia hanya diam seperti patung dan hanya mengikuti instruksi orang tersebut? Tapi bukankah itu terlalu pasif?

Yang jelas ia tidak tahu apa yang Ino inginkan saat ini atau teman seperti apa yang ia butuhkan saat ini.

Ino masih berkutik dengan ponselnya yang ia ambil dari meja rias dan memesankan makanan untuk mereka berdua.

“Udah gue pesenin, ya. Suka sushi kan?” Jisung mengangguk saja.

Ia meletakkan kembali ponsel ke sebelahnya dan mulai menaruh fokus pada Jisung.

“Canggung, ya?” Ino tersenyum kecil menatap Jisung dengan lembut.

“Sedikit, Kak. Gue bingung harus ngapain..” Ungkapnya.

“Ngobrol biasa aja. Lo kenapa main Case 143?”

“Iseng aja, sih. Mostly karena gabut. Gue juga pengen cari temen ngobrol yang seru tapi gak kepikiran buat ketemu kayak gini soalnya gue anaknya kurang asik kalo ketemu langsung. Gue lebih rame di chat, Kak. Lo pasti ngerasain juga, kan? Tapi gue selalu menghargai lawan bicara gue kok. Gue bakal tetep usahain untuk kasih feedback yang baik ke mereka. Gue juga lebih sering jadi pendengar, jadi kalau lo pengen cerita masalah lo ke gue, silakan aja, Kak. Gue gak bakal ungkit ke siapa-siapa kok. Setelah malam ini kita juga bakal balik jadi orang asing, kan? Jadi lo tenang aja, Kak, gue gak bakal macem-macem.”

Senyum Ino semakin melebar.

“Ini yang katanya gak asik di asli dan cuma rame di chat? Bagi gue lo asik-asik aja kok.” Ino bergeser ke belakang kemudian merebahkan tubuhnya.

“Jangan tegang banget gitu, Ji. Sini tiduran aja.”

Justru kalo gue tiduran di sebelah lo, gue makin gugup..


Selesai semua makanan mereka datang dan mereka sudah menyicipnya, Jisung memegang perutnya, sedikit mencengkram bajunya. Ino melihatnya.

“You okay, Ji?” Ino tampak khawatir.

“Kenapa? Perutnya sakit, ya? Mau ke toilet? Bisa berdiri gak, Ji?”

Dengan buru-buru, Jisung mengangguk dan langsung berjalan cepat menuju kamar mandi.

Saat Jisung sedang berada di toilet, Ino memeriksa kotak sushi Jisung yang ternyata baru dimakan setengah porsi saja. Kemudian, dengan instingnya ia mencium bau makanan tersebut dan benar saja ada aroma yang tidak beres.

Karena merasa tidak beres, ia buru-buru menghubungi restoran jepang tersebut.

“Kenapa makanan yang kalian bawa kesini basi? Udah gila ya hidangin makanan basi untuk customer? Cek semua stok yang ada di freezer. Buang semua yang udah kedaluwarsa. Nanti saya hubungin distributornya untuk kirim semua yang segar.”

Percakapan di telfon barusan adalah percakapan antara atasan dan karyawan. Yap, Ino merupakan pemilik restoran jepang tersebut.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Jisung keluar dari toilet dan berjalan kembali ke kasurnya sedikit linglung.

Sontak Ino berdiri dan menghampirinya, membantunya jalan dengan memapahnya sampai tempat tidur.

“Maaf ya, gue nggak tau kalo makanannya udah nggak baik buat dikonsumsi. Gue bikinin teh hangat dulu mau gak? Lo minum itu dulu sambil tunggu gue beliin obat buat lo. Tiduran aja di sini, Ji. Sebentar ya gue buatin tehnya.”

Padahal mereka hanya sebatas orang asing, tapi perhatian Ino membuat Jisung semakin lama semakin terpikat?

Namun ia tidak mungkin menanam perasaan dengan orang yang hanya akan ia temui satu kali. Ia juga memang tidak berencana untuk menaruh rasa pada siapapun yang ia temui di aplikasi kencan tersebut. Ia hanya tidak ingin berakhir patah hati karena menyukai sosok asing yang hanya ia temui sekali saja. Dan ia pun tau kalau Ino juga memiliki prinsip tidak ingin lebih dekat dari sekedar teman satu malam dengan orang-orang yang ia temui di dating app itu.

Setengah jam sudah berlalu, Jisung sudah meminum obat yang dibeli Ino tadi.

“Enakan gak abis minum teh tadi?”

Jisung mengangguk, “Lumayan, Kak.”

Ino pun mengangguk lega.

“Kak.” Panggil Jisung membuat Ino kembali terfokus padanya.

“Abis malam ini selesai, kita beneran udahan?”

Mungkin memakai kata udahan sedikit aneh karena terdengar seakan mereka memiliki suatu hubungan spesial.

Ino memberi jeda sebelum menjawab pertanyaan Jisung barusan.

“Mungkin. Karena itu emang tujuan kita dari awal, kan? Gue juga nggak akan macem-macem sama lo, selesai malam ini, kita bakal balik kayak biasa.”

Kalau ia boleh meminta waktu lebih, sejujurnya ia ingin sekali. Jisung merasa hanya satu malam saja tidak cukup baginya apalagi ia sudah terjebak dalam perasaan yang mulai mekar ini. Namun, Jisung bukanlah orang yang egois. Terutama karena mereka hanyalah sepasang orang asing.

“Kalo gue boleh tau, kenapa lo butuh ditemenin banget malam ini?” Akhirnya Jisung bisa menanyakan sesuatu yang sangat ingin ia tanyakan sedari awal.

Ino memposisikan dirinya tepat di sebelah Jisung, duduk dan bersandar pada kepala kasur. Menghadap lurus kemudian menjawab, “Hari ini hari ulang tahun gue. Karena setiap hari gue selalu jalanin hari sendirian, untuk hari ini gue pengen ngerasain yang namanya punya teman.”

“Bukan berarti gue nggak punya temen, tapi gue nggak punya seseorang yang bisa nemenin gue. Kayak gini.” Lanjutnya, menghadapkan mukanya ke samping, melihat Jisung yang juga menatapnya.

“Kalo gitu, udah berapa orang yang lo ajak untuk temenin lo hari ini?” Pertanyaan Jisung terus berlanjut.

“Satu. Lo doang ….” Cengiran tipis terbentuk di bibirnya, “…Makanya gue juga sedikit kaget pas tau percobaan pertama gue langsung berhasil.” Lanjutnya.

“Gue masih penasaran deh, kenapa lo nggak nulis profesi lo apa di aplikasi itu? Bukannya jadi susah ya dapet match kalo lo nggak nulis lengkap bionya?” Tanya Jisung.

“Kayaknya banyak yang lo penasaranin ya?” Ino terkekeh.

“Gue merasa gue nggak perlu mengumbar apa profesi gue ke orang-orang, sih. Karena gue juga bukan lagi nyari pacar. Jadi, menurut gue nggak penting-penting amat untuk input pekerjaan gue.”

Jisung mengangguk.

“Tapi, kenapa lo nggak nyari pacar aja, Kak? Biar lo terus ada yang nemenin.”

“Nggak segampang itu juga kalo mau cari pacar. Gue juga punya kriteria tersendiri dan sampe sekarang gue belum nemu seseorang yang cocok sama kriteria gue. Gak jarang juga gue nemu orang-orang yang datang ke gue karena ada maunya doang bukan karena mereka beneran sayang sama gue.”

“Daritadi gue mulu yang ditanya, kalo lo sendiri kenapa lo mau match sama gue padahal gue nggak nulis kejelasan profesi gue apa?” Kini, Ino yang bertanya pada Jisung.

“Karena gue penasaran. Lo satu-satunya orang yang cuma nulis Nama, Umur, sama Daerah. Awalnya gue pengen tau alasan di balik itu, tapi pas gue ngechat lo, keliatannya lo bukan tipikal yang bakal langsung terbuka sama orang yang baru kenal.”

Ino mengangguk setuju.

“Tepat banget, sih.” Kekehnya pelan.

“Berarti lo itu emang anaknya gampang penasaran ya. Dan lo kalo udah penasaran tuh langsung beraksi bukan diem doang trus bikin asumsi. Bagus sih, gue suka orang yang begitu.” Ucap Ino.

Suka…? Elah, Ji. Bukan suka yang begitu maksudnya. Jangan kegeeran.

Tiba-tiba Jisung mulai menguap.

“Ngantuk, ya? Baru jam 10 sih. Lo emang nggak terbiasa tidur lama ya?”

Jisung menggeleng pelan, tampaknya ia sangat lelah dan mengantuk. Kalau ia sudah mengantuk dan mencoba menahan kantuknya, pasti bibirnya akan mengerucut gemas seperti anak kecil.

Ino tersenyum gemas melihat pria kecil di sebelahnya yang mungkin sebentar lagi juga akan tertidur.

“Yaudah, tidur aja, Ji. Goodnight.”

Malam itu pun ditutup dengan Jisung yang tidur lebih dulu, dan Ino yang berakhir menemaninya.


@hobinyanyasar