Makam Ayah

Disinilah Jisung sekarang. Menatap gundukan tanah dan nama di batu nisan Ayahnya. Tersenyum sedih karena keadaan mereka sudah berbeda.

Berjongkok dan mengayunkan tangannya ke Minho agar lelaki itu ikut berjongkok di sebelahnya. Menyapa sebentar sosok yang Minho hormati walaupun ia belum pernah bertemu secara langsung.

“Bersihin makam dulu yuk? Biar nanti ngobrolnya enak.” ajak Minho yang mulai bangun untuk mencabuti rumput-rumput disekitar makam Alm. Ayah Jisung.

Jisung pun ikut membantu. Ia menyiram air yang ia bawa dari sekolah, membersihkan debu dan tanah yang ada di keramik Makam sang Ayah. Setelah bersih mereka menaburkan bunga dan berdoa.

Melihat Jisung yang masih memanjatkan doa nya, membuat Minho terhenyak. Mengulurkan tangannya untuk mengusap air mata Jisung yang hampir jatuh ke tanah.

“Bersih kok.” ujarnya sambil menyodorkan sapu tangan yang ia bawa dikantung celananya.

Jisung mengambil. “Kotor juga gak apa-apa.” mengusap air matanya. Berusaha untuk jangan sampai jatuh ke tanah. Apalagi mengenai makam sang Ayah.

“Kayak aku habis ngapain aja segala kotor.”

“Bisa aja kotor karna keringat kamu? Tapi gak apa-apa sih.” kekeh Jisung.

“Masih bersih, belum aku pake dari pagi.”

“Iya-iya percaya.”

Menatap kembali makam Ayahnya. “Ayah, tau Minho kan? Tau dong, soalnya kan dia sering nemenin aku ke sini kalau lagi kangen sama Ayah.” tanya Jisung yang langsung ia jawab sendiri. Tidak mungkin Ayahnya yang menjawab kan? Kalau iya, Jisung akan membawa pulang Ayah nya ke rumah.

“Ji.”

Jisung menoleh ke samping. “Hm?”

“Butuh waktu sendiri?”

“Boleh?”

Minho mengangguk, bangun dan menyempatkan untuk mengusak pelan kepala Jisung. “Boleh, aku tunggu di motor ya?” lalu berpamitan pada Alm. Ayah Jisung.

Jisung tersenyum mengangguk. Menatap punggung Minho yang kian menjauh. “Ayah, Minho baik banget ya?” masih dengan senyum manisnya.

“Ayah cemburu gak kalau Jisung sayang banget sama Minho?”

“Enggak kan? Enggak dong ya? Soalnya Ayah tetep nomor satu dan Jisung lebih lebih lebih sayang sama Ayah!”

“Ayah, Jisung rindu.” ucapnya sangat pelan.

Tangannya meremat sapu tangan Minho dengan keras. Melampiaskan emosinya. “Jisung masih suka nangis kalau kangen Ayah.”

“Jisung gak bisa bohong kalau Jisung iri lihat temen-temen yang masih bisa bercanda atau ngobrol bareng Ayah nya.”

“Jisung iri.” lirihnya pelan.

“Jisung... Jisung juga masih mau ngobrol sama Ayah.” air matanya menetes lagi.

Hanya terdengar isak tangis Jisung. Lelaki manis itu berusaha memberhentikan tangisnya. Dadanya sesak. Ia rindu Ayahnya. Bahkan kalau ada orang yang mendengar tangis Jisung saat ini, hati mereka akan ikut teriris. Begitu menyakitkan untuk didengar.

“Maaf Ayah, gak seharusnya Jisung nangis. Gak seharusnya Jisung ngeluh karna iri sama mereka.”

“Tapi Ayah... Jisung beneran iri.” lirihnya sangat pelan.

Menghela napasnya sekali lagi, mengusap air matanya dipipi. Tersenyum manis menatap nama Ayahnya. “Ayah penasaran gak hari ini Jisung ngapain aja?”

“Bangun tidur seperti biasa Jisung langsung mandi, siap-siap berangkat sekolah. Mama masak Ayam goreng sama sambel resepnya Ayah. Pasti Mama juga lagi kangen sama Ayah deh, soalnya Mama masak itu. Walaupun sambel nya resep dari Ayah, tapi rasanya tetep beda. Masih jauh lebih enak buatan Ayah! Mama gak jago nyambel nya. Jisung jadi pengen sambel buatan Ayah.”

“Trus yaudah Jisung berangkat bareng Minho. Dia jemput Jisung, masangin helm ke Jisung. Aduh padahal Jisung bisa, tapi Minho bilang biar kayak orang-orang gitu. Lucu kan Minho Yah?”

“Pas istirahat, temen-temen pada cerita tentang Ayahnya. Jisung cuma nyimak, soalnya kan kemarin Jisung sama Ayah ngapa-ngapain?” kekeh Jisung. Walaupun jauh dilubuk hatinya ia merasa kosong dan sedih.

“Iya, mereka cerita kemarin Ayah mereka ngapain aja. Ternyata sama randomnya sama Ayah.”

“Trus Minho nyuruh aku buat main game pou nya! Katanya biar Jisung gak terlalu nyimak omongan temen-temen. Biar hati Jisung gak sakit hati. Minho sweet banget gak sih Yah?”

“Tapi tenang aja, masih sweet-an Ayah dong.”

Jisung bercerita sambil terus memainkan bunga dan tanah. Lalu tangannya mengambil bunga lily yang ternyata masih disampingnya. Ia taruh tepat disamping batu nisan sang Ayah. “Seperti biasa. Bunga Lily! Ayah suka kan?”

“Jisung mau pamit pulang ya Ayah? Mampir ke mimpi nanti malem! Jisung kangen mau main sama Ayah.” lalu ia bangkit. Menyempatkan untuk mengusap keramik makam Ayahnya.

“Babay! Jisung tunggu ya!” lalu melangkah pergi meninggalkan makam dan menghampiri Minho yang sudah menunggunya di motor.